Kamis, 29 Januari 2009

Bangsa Tempe Vs. Bangsa Minyak

BANGSA TEMPE VERSUS BANGSA MINYAK


Bangsa tempe versus bangsa minyak, mirip
pertempuran David dan Goliath. Kira-kira
di mana posisi kita? Barangkali
Indonesia ini tidak mau disebut bangsa
tempe, tapi juga tidak sanggup menjadi
bangsa minyak.

Bangsa tempe, seperti cara dibuatnya,
adalah bangsa yang diinjak-injak. Maka
kerap kita dengar bahwa jangan mau
martabat dan harga diri bangsa
diinjak-injak. Soekarno pernah
menyebutnya. Tapi anehnya, di sebuah
negeri tempe pun mengalami krisis
kedelai, bahan baku utamanya, maka kita
mesti mengimpornya. Padahal tempe
merupakan menu makanan khas bangsa ini.
Tempe bisa dipepes, bisa dibacem,
disambel goreng juga boleh. Begitu pula
nasib beras. Beras Indonesia tanah air
beta yang sesekali tercampur batu.

Sekarang giliran bangsa minyak. Kita
tahu: wacana tentang kenaikan BBM hampir
semarak di stasiun-stasiun tipi. Pada
akhirnya, BBM benar-benar naik,
keputusan telah dijatuhkan. Pro dan
kontra itu hal biasa. Kalau ditelusuri,
padahal Indonesia kaya akan ladang
minyak dan rig-rig di lepas pantai yang
terus menghisap mati-matian. Pembagian
keuntungan sesuai dengan sistem kontrak.
Ok, bangsa ini 40%, investor 60%. Atau
bagaimana kalau 50%:50%? Bukankah setiap
perusahaan mesti untung?

Ok, Indonesia memang negeri kaya akan
MINYAK MENTAH, tetapi Indonesia mesti
mengekspornya karena tidak ada
infrastruktur yang menunjang pengolahan
menjadi MINYAK JADI siap konsumsi.
Mungkin sumber daya manusia sudah ada
tapi belum terakomodasi. Pilunya,
Indonesia mesti mengimpor lagi minyak
untuk konsumsi rakyat, makanya harga BBM
harus menyesuaikan dengan ketentuan
pasar global, contohnya $ 132 per barel.
Minyak itu hanya berpindah tempat
sesaat, tapi harus pulang ke tempatnya
pernah menyusu. Ternyata dari situlah
sumber segala gembar-gembor tentang BBM.
Implikasinya, sekali lagi, bisa kita
lihat di tipi-tipi.

Hidup di dunia, manusia harus siap
kecewa tidak pernah ada yang sempurna.

Tidak ada komentar: