Kamis, 29 Januari 2009

Damai itu Indah...



andai saja kita saling bergandengan dan didasari
dengan cinta antar sesama, maka apa yang dialami
saudara kita yang di Palestina tidak akan terjadi.




Peace and Love.....

Guru dalam Hidup....

PENGALAMAN


perjalanan panjang memang bukan suatu hal yang tabu untuk dilalui seluruh manusia. Inilah yang akan selalu dialami oleh manuisa dalam menapaki setiap jalan hidup manusia. Ini kadang dsadari atau tidak. ketika anda sedang menempuh suatu tujuan yang ingin dicapai maka anda akan melewati banyak hal di sana. itulah perjalanan yang saya maksudkan kali ini.

saya akan menyebut perjalanan ini sebagai suatu pengalaman agar terlihat lebih spesifik.n ya pengalaman adalah guru yang terindah bagi diri saya. keika anda yakin untuk berkembang kenapa anda tidak belajar dari pengalaman anda dan orang lain.

begitu banyak makna dan arti yang dapat kita ambil dari setiap pengalaman itu. Dengan kata lain bahwa apa yang kita kerjakan membawa makna yang berarti.

bagaimanakah pengalaman anda saat ini. pernahkah anda untuk berpikir dan mencoba melihat pengalaman itu.

Bangsa Tempe Vs. Bangsa Minyak

BANGSA TEMPE VERSUS BANGSA MINYAK


Bangsa tempe versus bangsa minyak, mirip
pertempuran David dan Goliath. Kira-kira
di mana posisi kita? Barangkali
Indonesia ini tidak mau disebut bangsa
tempe, tapi juga tidak sanggup menjadi
bangsa minyak.

Bangsa tempe, seperti cara dibuatnya,
adalah bangsa yang diinjak-injak. Maka
kerap kita dengar bahwa jangan mau
martabat dan harga diri bangsa
diinjak-injak. Soekarno pernah
menyebutnya. Tapi anehnya, di sebuah
negeri tempe pun mengalami krisis
kedelai, bahan baku utamanya, maka kita
mesti mengimpornya. Padahal tempe
merupakan menu makanan khas bangsa ini.
Tempe bisa dipepes, bisa dibacem,
disambel goreng juga boleh. Begitu pula
nasib beras. Beras Indonesia tanah air
beta yang sesekali tercampur batu.

Sekarang giliran bangsa minyak. Kita
tahu: wacana tentang kenaikan BBM hampir
semarak di stasiun-stasiun tipi. Pada
akhirnya, BBM benar-benar naik,
keputusan telah dijatuhkan. Pro dan
kontra itu hal biasa. Kalau ditelusuri,
padahal Indonesia kaya akan ladang
minyak dan rig-rig di lepas pantai yang
terus menghisap mati-matian. Pembagian
keuntungan sesuai dengan sistem kontrak.
Ok, bangsa ini 40%, investor 60%. Atau
bagaimana kalau 50%:50%? Bukankah setiap
perusahaan mesti untung?

Ok, Indonesia memang negeri kaya akan
MINYAK MENTAH, tetapi Indonesia mesti
mengekspornya karena tidak ada
infrastruktur yang menunjang pengolahan
menjadi MINYAK JADI siap konsumsi.
Mungkin sumber daya manusia sudah ada
tapi belum terakomodasi. Pilunya,
Indonesia mesti mengimpor lagi minyak
untuk konsumsi rakyat, makanya harga BBM
harus menyesuaikan dengan ketentuan
pasar global, contohnya $ 132 per barel.
Minyak itu hanya berpindah tempat
sesaat, tapi harus pulang ke tempatnya
pernah menyusu. Ternyata dari situlah
sumber segala gembar-gembor tentang BBM.
Implikasinya, sekali lagi, bisa kita
lihat di tipi-tipi.

Hidup di dunia, manusia harus siap
kecewa tidak pernah ada yang sempurna.

Sinopsis Film "V For Vendetta"


" V FOR VENDETTA"







Remember… Remember the 5th of November…


Memangnya ada apa pada tanggal 5 November? Film ini bukan film cinta. Anda yang ingin mengharap kisah cinta klasik, siap-siap kecewa dibuatnya. Mungkin cinta di sini hanya bumbu penyedap rasa. Film ini tentang revolusi [I’m not talking about revolution, ketika seorang anak mendengar kata ‘revolusi’, ia menjadi takut dibuatnya- Robby Krieger], tentang kekerasan, darah yang tumpah di jalan, pemberontakan, kekacauan, dan berakhir pada bunuh-membunuh, kematian. V (Hugo Weaving), seorang pahlawan bertopeng, musisi pedang yang ahli seni bertarung merupakan korban penelitian pemerintah yang menewaskan 80.000 orang (petaka St. Mary). Dengan setting futuristic tapi klasik, film ini menggambarkan rezim totaliter Inggris (mirip rezim Soeharto, masa-masa ketika kita sering resah menanti hasil rapor) di bawah seorang Kanselir (setingkat perdana menteri) Inggris, Adam Chandler. Di sini kita bisa melihat kemahiran sinematografi almarhum Adrian Biddle. Selain itu, film ini juga padat kata dan sarat makna. [Karena selera film tiap orang berbeda dan gw bukan anak sinematografi, maka tulisan ini penuh muatan subjektif /sudut pandang orang pertama tunggal]

Dalam film itu, V sempat menyelamatkan Evey (Natalie Portman yang aduhai itu), sampai pada akhirnya ia (Evey) terlibat dalam pergerakan bawah tanah yang dicetus V. Di situ, V menjadi simbol perlawanan terhadap sistem birokratis pemerintahan yang korup, bobrok dan mapan. Demikian pula kita kerap menyalahkan penguasa, padahal rakyat yang diam (tutup mulut) dan mementingkan keselamatan diri sendiri juga bisa dipersalahkan. Di hadapan rezim penguasa, rakyat mengingkari suara hatinya, memilih tunduk agar selamat ketimbang mati akibat membangkang. Ada yang pernah menulis: “Jika kita menulusuri sejarah umat manusia yang panjang, kita akan banyak menemui kejahatan yang dilakukan atas nama ‘kepatuhan’ ketimbang ‘pembangkangan’.” Sampai pada akhirnya, V memboikot siaran televisi nasional (mirip TVRI yang letaknya beberapa km saja dari tempat kita mendikte) untuk ‘menyadarkan’ rakyat bahwasanya ‘ada yang salah dengan negeri ini’. Sejak itu V menjadi bom waktu yang siap diledakkan. Seni propagandanya berhasil memikat kondisi psikologis massa. Massa yang selama ini lapar dan merasa dibohongi. Selanjutnya, keciutan individu itu melebur dalam tekad kolektif yang bodoh, irrasional dan mudah terprovokasi. Destruksi.

Sedemikian rupa, hingga akhirnya Evey coba menjejaki asal usul V dan motivasinya.

Nah, rezim tersebut melakukan berbagai cara untuk tetap mempertahankan stabilitas negeri, akhirnya V pun diburu, sampai-sampai pemerintah pun memanipulasi pikiran rakyat melalui siaran berita. Demikian juga setiap lawan politik yang menentang perang, dan dianggap menentang pemerintah dieksekusi (mirip ‘petrus’ penembak misterius pada zaman OrBa). Kesalahan terbesar rezim ini adalah proyek senjata biologis, dan para pembangkang adalah kelinci percobaannya. Di luar dugaan, proyek tersebut menjadi epidemik yang mencemarkan kawasan penelitian, sekali lagi masaker tersebut coba ditutupi pemerintah sebagai virus antah berantah dan kesalahan tak sengaja. Dan kekuasaan itu bisa merekayasa sejarah. Demikianlah Inggris diambang suatu kekacauan yang kerap menandai transisi pemerintahan. Mereka yang menjadi ‘kultus kurban’ adalah orang banyak yang memakai topeng V sebagai simbol perlawanan. [Tetapi di film itu tidak ada tulisan “Ini Milik Pribumi”]
Pertikaian itu juga diwarnai dengan trik dan kongkalingkong sampai akhirnya V membunuh satu per satu Kanselir dan birokrat-birokrat pemerintah. Akhirnya, rakyat yang mengenakan topeng V menduduki gedung parlemen. Revolusi tersebut tidak berjalan menakutkan, memang. Tidak ada kematian lebih banyak. Bangunan monumental tersebut dihancurkan, menandai suatu harapan baru.

Beneath this mask, there is more than flesh
Beneath this mask, there is an idea…

V for Vendetta menengahkan bahwa suatu perubahan kadang menuntut pertumpahan darah dan kultus korban. Selalu saja ada yang menjadi korban di balik pertikaian, sampai tatanan benar-benar terwujud. Tetapi harapan itu masih ada, dan memang ‘keadilan’ tidak mudah seperti yang dibayangkan.

Senin, 12 Januari 2009

Baru Belajar......


Sebelumnya saya minta maaf kalau di blog saya ini tidak ada tulisan atau artikel yang menarik bagi anda yang membacanya.... karena saya juga baru belajar untuk membuat blog ini.. he2 :D selain itu juga memang saya sendiri tipe orang yang sulit untuk mengungkapkan sesuatu lewat tulisan... :P

Di dalam blog saya mungkin anda melihat sebuah artikel atau tulisan yang ckp mnarik untuk dibaca, artikel itu merupakan sebuah tulisan dari teman saya dimana dia ingin membagi sebuah artikel tersebut kepada anda-anda semua yang ingin membacanya....

Y udah gitu aj tulisan dari saya... sekali lagi maap yaaa.... :D

filay

Masyarakat Tontonan


Masyarakat Tontonan

Guy Debord (1931-1994), seorang teoritikus politik Marxis, pembuat film dan seniman, merupakan salah satu pimpinan The Situationist, kelompok aktivis politik, penulis dan seniman yang memprakarsai peristiwa Mei 1968 di Paris, di mana ribuan pelajar dan pekerja turun ke jalan-jalan mengajukan tuntunan ekonomi politik berupa perbaikan kondisi kerja dan reformasi sistem pendidikan.

The Situationist International sendiri menjadi gerakan politik radikal dan artistik internasional yang berdiri sejak 28 Juli 1957 di Italia, dan dicetuskan oleh Debord, Asger Jorn, dan Raoul Vaneigem. Proyek seninya berkubang pada Dadaisme dan Surrealisme sebagai reaksi terhadap dominasi ‘kebudayaan kapitalis’ yang penuh dengan propaganda dan manipulasi media. SI menggagas seni avant-garde yang revolusioner pada zamannya: “art is revolutionary or it is nothing. Dengan demikian seni haruslah mampu membawa transformasi kehidupan sehari-hari, yang mampu menuntun perubahan ekonomi politik, dan membebaskan orang-orang dari belenggu sosial di sekitarnya. Sampai bubarnya pada 1969, Debord menjabat editor sebuah jurnal yang diterbitkan The Situationist berisikan isu-isu politik dan budaya, perang Vietnam, tata geografis masyarakat urban, sekaligus amanat berkesenian yang dituangkan melalui desain grafis, slogan-slogan politik dan rekayasa images dalam media populer dan periklanan.

Sementara, Masyarakat Tontonan (The Society Of Spectacle, 1967) adalah kerangka teoritis dan refleksi kritis yang diajukan Guy Debord. Di dalamnya terdapat 221 paragraf, tanpa halaman. Karyanya ini sempat dipublikasikan berulang-ulang sebagai alternatif atas jawaban konvensional yang gagal membawa transformasi sosial. Buku ini memberikan dampak yang cukup luas di bidang kebudayaan.

1. Logika Komoditas

Dalam karyanya itu ia mencoba menjejaki aplikasi fetisisme komoditas dalam media massa kontemporer. Debord mengamati perkembangan kapitalisme pasca perang yang menandai masyarakat konsumsi massal dan komunikasi lintas batas. Dengan mengambil alih teori Marx dan Lukacs tentang alienasi dan nilai komoditas, ia sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat modern tersusun atas dalam subjek pasif yang mengkonsumsi tontonan (spectacle), dan reifikasi tontonan itu sendiri.

Pertama-tama, kapitalisme lanjut menampilkan proses produksi atas barang-barang yang tak berhingga dan di luar kendali subjek produksi. Segala sesuatu diproduksi menjadi komoditas yang dapat dijual dan ditukar. Sistem produksi tersebut tidak lagi menentukan nilai guna barang produksinya, melainkan semata-mata mementingkan nilai komoditas.

Marx menganalisa adanya kekuatan mistis di dalam komoditas. Kekuatan barang itu bersifat fetis. Artinya, pemujaan ‘berhala’ terhadap komoditas tersebut bukan berangkat dari nilai guna (use-value) maupun kondisi fisik-material alamiah benda-benda yang dikomodifikasikan. Karakter mistis itu berasal dari kuantitas pekerja dan durasi waktu yang dihabiskan untuk memproduksi barang-barang tersebut, yang menentukan nilai tukarnya. Proses produksi tersebut mengabaikan manisfestasi pikiran, hakikat kerja, dan tenaga yang dibiayai para pekerja. Subjek produksi yang bekerja menurut mekanisme-mekanisme mesin, dan mesin-mesin produksi yang berada pengawasan pekerja menentukan nilai komoditas barang produksi. Kapitalisme memungkinkan pemuasan kebutuhan manusia atas dasar pertukaran komoditas. Para buruh sendiri bekerja upahan untuk mengkonsumsi komoditas di luar sistem produksi, atau bahkan mengkonsumsi apa yang telah diproduksinya sendiri. Relasi sosial sepenuhnya merupakan relasi komoditas, pertukaran komoditas atas dasar pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Lebih jauh lagi, model-model produksi yang disokong oleh sistem kapitalisme lanjut telah merangsek secara simultan melalui pertumbuhan masif media massa kontemporer, khususnya media elektronik. Kapitalisme tidak hanya berdiam diri menghadapi penumpukan barang produksi sebagai konsekuensi produksi massal. Yang ia butuhkan adalah ketersediaan pasar atas barang konsumsi. Debord memperkirakan bahwa masyarakat modern adalah masyarakat pada suatu momen historis saat komoditas mengkolonialisasi seluruh gugus kehidupan. Dengan kata lain, relasi komoditas telah mengalami perluasan sampai ke segala aspek kehidupan, terutama melalui fungsi media massa yang bisa menghadirkan pertunjukkan impresif dan spektakuler bagi para spektatornya. Objek di hadapan penonton, di luar dirinya inilah yang disebut Guy Debord sebagai spectacle (tontonan/tayangan/tampilan). Media massa telah menciptakan nilai-nilai bagi komoditas yang dipertontonkan. Di sinilah, kebebasan adalah kebebasan untuk memilih dan mengkonsumsi komoditas yang satu atas yang lain. Komoditas telah mencapai derajat ekstrem, kuasa total atas kehidupan sosial (paragraf. 42).

Kondisi masyarakat konsumsi yang ditandai dengan pemujaan atas komoditas, mirip dengan pernyataan Feuerbach: Apa yang terjadi di masa kini adalah preferensi pada tanda (sign) atas ‘apa yang ditandakan’ (signified), penjiplakan ketimbang orisinalitas, representasi ketimbang realita, penampakan ketimbang esensi. Ilusi yang disakralkan, kebenaran profan meninggi demikian pula proporsi atas kebenaran yang sesungguhnya merosot dan ilusi melambung, sehingga derajat ilusi tertinggi mencapai titik tertinggi derajat “apa yang disakralkan’ (sacredness). (Preface to the Second Edition of The Essence of Christianity.)”.

2. Akumulasi Tontonan

Kita hidup dalam masyarakat spektakuler. Masyarakat modern merupakan akumulasi tontonan yang tak terhingga. “Apa yang pada awalnya dihidupi telah menjadi representasi semata.” (par. 1). Otentisitas kehidupan sosial telah mengalami kemerosotan dari BEING menjadi HAVING, dan HAVING menjadi APPEARING.

Tontonan (spectacle) di sini bukan koleksi citra (image), melainkan relasi sosial yang dimediasi melalui citra. Relasi sosial telah bergeser lebih jauh menjadi relasi komoditas. Citra-citra yang ditampilkan komoditas non-kehidupan tersebut bergerak secara otonom untuk memperdaya dan mengambilalih segala aspek kehidupan. Tidak hanya sampai di situ, kehidupan yang ditandai dengan relasi komoditas juga telah menyihir para penonton-penontonnya untuk menjiplak dan memproduksi ulang citra-citra yang tadi dipertontonkan. Penonton tersebut menjadi agen atas citra-citra yang sebelumnya ia lihat dengan matanya sendiri. Dengan kata lain, relasi sosial adalah relasi atas dasar citra-citra yang ditampilkan oleh kerumunan orang, termasuk pemahaman atas diri sendiri dan orang lain, berangkat dari komoditas yang ia pernah tonton.

Di satu sisi, tontonan dipahami sebagai bagian dari masyarakat. Tontonan adalah sektor yang mempertemukan segala pusat perhatian dan kesadaran manusia modern. Tontonan merupakan locus bagi ilusi dan kesadaran palsu. Marx pernah mengatakan bahwa sistem produksi masyarakat industri-kapitalistik telah mengalienasikan buruh dari dirinya, sesama buruh, dan produk kerja. Di zaman modern ini, tontonan dan media massa, tempatnya berpendar terang, telah mengasingkan spektatornya, tidak hanya dari individu-individu lain, tetapi juga dari objek yang di hadapannya. Tontonan menjadi substitusi atas pengalaman. Orang tidak perlu repot-repot menyewa pesawat luar angkasa untuk menjelajahi alam semesta yang mahadasyatnya, cukup dengan menyetel Discovery channel, ditunjang perangkat audio yang mumpuni, maka tontonan itu layaknya panggung spektakuler. Dengan demikian, individu-individu tersebut benar-benar terpisah dari pengalaman sebenarnya, atau bahkan objek pelampiasan hasratnya menelusuri luar angkasa. Selanjutnya, spektator itu sendiri mengidentifikasi secara pasif tayangan dan tampilan di hadapannya. Aktivitas genuine telah bergeser menjadi pasivitas, dan mengisolasikan dirinya dari realitas di sekitarnya. Konsep Baudrillard tentang hiper-realitas sepakat dengan tontonan yang dimaksud Debord.[1]

Di sisi lain, tontonan adalah penyeragaman dan unifikasi atas masyarakat itu sendiri melalui citra-citra yang ditampilkannya. Realitas kehidupan secara material dilanggar batas-batasnya oleh tontonan, mana yang nyata dan mana yang tontonan, dan kerumunan menjadi spektator atas hidupnya sendiri. Debord juga mengatakan bahwa: tontonan lebih baik dipahami sebagai weltanschauung (the world-view), suatu pandangan-dunia yang teraktualisasikan dalam masyarakat modern. Tontonan yang ditayangkan saluran berita, periklanan dan entertainment adalah hasil dan tujuan dari proses produksi industri-kapitalstik. Tontonan menjustifikasi kondisi dan maksud sistem-sistem yang ada, yaitu sistem produksi dan kebebasan omnipresen yang diperhitungkan dalam ranah produksi. Konsumsi menjadi hasil atas kebebasan pilihan spektator.

Debord sampai pada kesimpulan yang lebih radikal bahwa realitas tererupsi ke dalam tontonan sehingga tontonan sesungguhnya adalah kenyataan itu sendiri. Tontonan itu bersumber pada aktivitas real yang dikemas ulang dalam medium tontonan. Tontonan menjadi afirmasi atas ragam fenomena sosial yang nampak (appearances) dan afirmasi atas seluruh gugus kehidupan yang representasi semata, suatu penegasian terhadap kehidupan dalam bentuk visual yang kasat mata.

Sebagai contoh kasus ekstrem: ruang publik salah satunya dilakoni oleh media massa, khususnya televisi. Namun ketika ruang publik hanya mempertontonkan tokoh-tokoh politik antagonistik yang saling memperebutkan massa, maka ruang publik itu tidak pernah mencapai konsensus, sebaliknya dissensus. Tokoh-tokoh antagonistik itu mewakili aktor-aktor politik yang bertarung babak demi babaknya memenangkan opini masyarakat dalam rentang waktu genta, layaknya pertandingan tinju. Sesekali terdengar takbir, dan riuh jajaran massa yang mendukung mati-matian jargon pemimpinnya. Ruang publik—atau lebih baik dipahami sebagai tontonan itu—melulu memperhitungkan rating penonton, dan laba di balik “komoditas ruang publik’ yang ditayangkannya. Di akhir babak, spektator dipersilahkan menilai sendiri, dan memilih identitas mana yang bakal ia pertahankan. Dengan demikian, citra demokrasi di Indonesia sekedar berisikan antagonisme-antagonisme politik. Semua mata menyaksikan pergulatan kekuasaan dan kontestasi kepentingan. Akumulasi modal yang mempersyaratkan fungsi dan operasi media mencapai titik, yaitu melulu citra yang ingin ditampilkan (par. 34).

Sistem bahasa tontonan tersusun atas tanda-tanda (signs). Sistem tanda dalam tontonan ini pada saat yang bersamaan adalah produk akhir atas model produksi organisasi sosial yang dominan. Dengan kata lain, formasi dan fungsi dari tontonan bersinggungan dengan sistem bahasa sebagai ekspresi atas formasi ekonomi dan sosial yang eksis dalam struktur masyarakat (par. 11).

Tontonan tak lain merupakan praktik sosial yang berbasis formasi ekonomis, sekaligus produksi utama masyarakat dewasa ini. Di dalamnya, segala aspek kebudayaan dan pengalaman dimediasi oleh tontonan untuk menyamarkan dan melindungi kepentingan pemegang kuasa. Tontonan pada dasarnya juga bersifat tautologis. Demi survivalnya, tontonan harus menjadi kontrol sosial. Tontonan tersebut harus bisa memulihkan citranya di hadapan spektator melalui berbagai bentuk repackage, mereproduksi tontonan alternatif, dan menjual kembali komoditas yang dipertontonkan. Segala sesuatu yang tampak sebagai tontonan adalah baik, maka tontonan itu baik. Pada titik ini, formasi ekonomis mengemas benda-benda, untuk kemudian memonopoli kawasan representasi yang ditampilkan oleh media. Gugus-gugus kehidupan terperangkap di dalamnya.

Menurut Debord, konsep tontonan juga dapat menjelaskan ragam fenomena yang nampak dalam skala yang lebih luas. Penampakan tontonan itu menunjukkan diversitas dan pertautan dalam penampakan organisasi sosial-politik. Debord menolak dikotomi antara realitas dan citra yang ditampilkan media populer. Baginya, praksis sosial itu sendiri—yang semula oposisi atas citra-citra dalam formasi ekonomis industri-kapitalistik—bertolak dari model produksi sesuai mekanisme pereproduksian tontonan. Sebuah pesimisme politikkah?

Sebagai contoh: pasca kejatuhan Soeharto, film-film yang merepresentasikan kekejaman dan penindasan militer pro Barat terhadap orang-orang PKI, dan mereka yang distigmatisasi sebagai antek PKI beredar, meskipun dalam taraf yang masih terbatas. Film ini bertujuan bukan saja untuk merekontruksi kembali sejarah kelam Indonesia, tetapi juga kebutuhan untuk mencapai kebenaran. Maksud film tersebut bisa dikatakan merupakan reaksi terhadap film pesanan rezim Soeharto yang menjadi tontonan wajib dan episteme masyarakat kungkungan Orba. Padahal, ketika tontonan menjadi representasi semata, maka kebenaran adalah momen kepalsuan (falsehood), demikian Debord (par. 9). Kehidupan yang sesungguhnya telah dinegasikan dalam kemasan tontonan yang menawarkan antusiasme penontonnya. Konsep tontonan ini, sadar atau tidak, mengikuti pola-pola produksi tontonan populer, dan sistem industri masyarakat kapitalistik. Korban-korban adalah komoditas yang dipertontonkan, dan pelipatgandaan keping-keping CD secara massal mengadopsi model produksi tontonan populer. Selain itu, tontonan itu sendiri menyiratkan tujuan dan kepentingan elemen-elemen masyarakat tertentu sebagai upaya mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi.

3. Ruang Kritis Bagi Transformasi Sosial

Pengalaman kehidupan dikomodifikasikan dan dijual kembali dalam bentuk-bentuk tontonan yang direproduksi ideologi dominan. Tidak ada seorangpun berdiri di luar lingkup alamiah tontonan masyarakat modern. Itulah tesis sentral Debord. Lalu, jika tontonan telah mengkolonialisasi masyarakat modern, di manakah ruang kritis bagi transformasi sosial? Menurut Debord, ruang kritis itu berasal dari dalam sistem yang hendak ditentangnya itu.

Mengutip Hegel, Debord mengatakan: “kebenaran bukanlah sebuah produk yang seorang pun tidak dapat lagi menjejaki perangkat yang membuatnya.” (par. 206). Persis seperti Hegel dan Marx, baginya, sebuah sistem—entah itu sistem alam, ekonomi dan ideologi—akan memproduksi kontradiksi di dalam dirinya. Debord melihat posibilitas subversi atas logika tontonan, dan kontradiksi internal itu bakal mengekspose dan menghancurkan kepentingan ideologis tontonan masyarakat.[2]

Gagasan ini memberikan dampak yang cukup luas dalam gerakan seni. The Situationist sendiri mempraktikkan detournement, yang berarti ‘penyimpangan (diversion) dan subversi’ dalam ranah seni sebagai upaya membendung tontonan yang nyata mendominasi masyarakat. Teknik ini diperkenalkan oleh Asger Jorn dengan mengumpulkan karya-karya seni konvensional, untuk kemudian ‘melukis kembali’ karya-karya tersebut dengan menambahkan kesan tertentu di atas kanvas lama, yang kehilangan aura seni di dalamnya sebagai konsekuensi reproduksi massal. Tapi identitas yang lama masih bisa dikenali. Distorsi atas makna orisinal dengan menambahkan kesan baru tersebut merupakan jawaban atas karya seni populer yang disokong sistem kapitalisme dan media. Detournement mengambil sikap kritis terhadap budaya massa populer, sekaligus tindak kritis atas dominasi nilai-nilai sistem sosial tertentu. Metode ini populer di kalangan seni avant-garde sayap kiri, dengan cara-cara: merekayasa slogan-slogan politik, penjiplakan citra dan karakter komik tertentu, sampai produksi sampul album kelompok-kelompok anarkis-punk underground, seperti Sex Pistols.

Dapat disimpulkan bahwa Debord menganggap bahwa: tontonan dalam kendali ideologi kapitalisme—oleh karena kontradiksi dialektis di dalamnya—memungkinkan sikap kritis, pengambilanjarak terhadap budaya populer, dan perubahan sosial. Jalur seni menjadi garda depan perubahan sosial ketimbang perjuangan politis yang boleh jadi malah terbentur dengan logika tontonan spektakuler. Berbeda dengan Debord, Baudrillard menyadari bahwa kapitalisme sendiri mampu menetralisasi kekuatan-kekuatan kritis di luar sistem dominan, untuk menyerap agen-agen perubahan sosial menjadi bagian struktural sistem kuasa.[3] ***

Karya Guy Debord yang bisa diakses melalui internet:

  • The Society of Spectacle, Detroit: Black & Red, 1970
  • Comments on the Society of Spectacle, London: Verso. 1990



[1] Lihat, Sim, Stuart (ed.), The A-Z Guide to Modern Literacy and Cultural Theorist, Prentice Hall/ Harvester: Wheatsheaf, 1995, hlm. 91

[2] Lihat, Ibid, hlm 90

[3] Ibid, hlm 91


Ari. W. Desember 2009